Halaman

Mengenang tersesat di jalan yang benar


Pertama kali saya menemukan kalimat “Selamat, anda tersesat di jalan yang benar” di pintu masuk sanggar beta (sekarang telah menjadi masjid). Saya sempat bertanya-tanya apa maksudnya? Saya tak mendapatkan jawabannya hingga saya mengalami dan membuktikannya sendiri.
Saya masuk kuliah di almamater saya, IAIN Walisongo Semarang seperti mimpi, terkesan mendadak dan tanpa pemikiran panjang. Hampir kayak pelarian dari rasa frustasi berkepanjangan yang sebelumnya bak tumor ganas hinggap di kepala saya.
Tapi di kampus inilah saya menemukan banyak hal. Hal pertama dan telah menjadi impian saya sejak lama adalah masuk ke dunia teater. Sudah menjadi tradisi di kampus saya, wajib hukumnya bagi mahasiswa baru untuk mengikuti penyaringan bakat dan minat untuk kemudian diperlombakan antar fakultas. Saat saya masuk pintu eksekusi, saya lihat ada banyak sekali stan yang masing-masing dijaga satu sampai dua senior. Tapi entah kenapa mata saya langsung tertuju pada stan teater yang berada tepat di seberang pintu masuk. Saya ingat, senior yang saat itu menjaga stan teater adalah Mas Mahfud. Ia menyuruh saya akting marah-marah. Dan nampaknya saya sukses melakukannya.

ingurasi teater FAKTA 2005
Berawal dari seleksi awal tersebut, akhirnya saya bisa berkesempatan untuk ikut casting pentas inagurasi teater. Banyak sekali mahasiswa yang terjaring untuk ikut casting tersebut, padahal yang diambil untuk peran tak lebih dari sebagian peserta. Tapi saya benar-benar berharap bisa mendapatkan peran, apapun itu. Setelah melalui proses reading yang lama, akhirnya saya kebagian peran juga!!! Peran yang mungkin tak ada apa-apanya dan sangat tidak menonjol. Saya hanya menjadi satu diantara banyak orang yang berperan sebagai warga desa yang sedang mengadakan suatu rapat. Hanya ada satu kalimat yang harus saya ucapkan sekali saja. Selebihnya saya hanya perlu berteriak-teriak bersama-sama dengan pemeran lain. Tak hanya peran yang kecil, bahkan dalam naskah itu, saya tak punya nama. Hanya disebut sebagai Orang ke 1, orang ke 2, orang ke 3, dan seterusnya. Tapi saya cukup senang dengan peran itu. Bagi saya, tak ada peran yang kecil. Karena peran besar pun tak ada artinya tanpa adanya bantuan dari yang kecil-kecil.
Selama satu setengah bulan saya berlatih bersama teman-teman lain yang juga mendapatkan peran. Dari sore sampai larut malam. Bahkan jeda maghrib kami tidak pulang kos. Untuk makan malam kami bantingan seribuan, sebagai bentuk kebersamaan dan solidaritas. I really enjoyed it. 

Dilihat sekilas, peran saya sangat gampang, tapi ternyata tak semudah itu karena saya bermain dengan banyak orang dimana sangat membutuhkan kekompakan sehingga menghasilkan komposisi yang bagus. Banyak yang kebagian peran mirip saya, tapi kami dituntut untuk memiliki karakter dan ciri khas yang membedakan dengan yang lain sehingga pertunjukan tidak terkesan monoton. Satu persatu mereka menemukan ciri khasnya. Ada yang dapat ide dari senior, ada pula yang usul sendiri. Bermacam-macam gaya bermunculan. Dari gaya gagap sampai logat kendal, dari yang tomboy sampai yang sok-sok bisu. Saat itu saya juga sudah mendapatkan satu karakter yang disematkan pada peran saya, tapi dua hari menjelang pementasan, saya mengajukan proposal untuk mengubah diri saya menjadi sosok anak kecil yang cengeng, bawel, dan penakut. Lewat peran itu akhirnya suara saya jadi menonjol karena sering saya munculkan rengekan-rengekan, ditambah jerit ketakutan khas anak kecil saat sosok hantu mendadak bangkit dari tidur panjangnya. Dan peran saya tambah mantap dengan balitan kostum Dora dan sepotong lolipop. Ahaaaaa.....benar-benar peran kecil yang bisa dimaksimalkan. Nyatanya setelah itu banyak teman saya yang nonton masih mengingat saya, si anak kecil cengeng yang ngrusuh-ngrusuhi.
Setelah saya ikut ambil bagian dalam pentas inagurasi, belum berarti saya telah menjadi anggota teater yang melatih saya, teater beta. Tapi justru inilah permulaan. Ada serangkaian tes yang harus saya lalui untuk bisa masuk dan terdaftar sebagai anggota resmi.
Pertama, tes tulis. Saya dan teman-teman yang juga ikut tes diharuskan menjawab segunung pertanyaan seputar teater, seni, puisi, musik, dan lain sebagainya. Tes tulis itupun tidak murni tes tulis tapi masih ada sempilan-sempilan perintah untuk akting.
Lalu kedua, tes wawancara. Saya hampir lupa saya diwawancara apa saja. Saya disuruh memperhatikan lukisan, ditanya dimana letak seninya? Lalu dibagian musik saya disuruh pegang gitar yang saya sama sekali tak tahu mau saya apakan. Saya juga ditanya mengenai konsekwensi saya kelak andai saya diterima menjadi warga beta. Iyah mas, saya mantep dah pokoe...!!! tapi mas Ipunk yang saat itu jadi Lurah beta bikin saya grogi, jadi mubeng-mubeng ni kepala. Pertanyaane mudah-mudah mbingungi.hohoho...
Yang terakhir psycho test (bener ya psycho test?). test mental gitu deh. Kebetulan saya telat ikut tes ini karena pada saat jadwal tes, saya dan teman saya, Hani, sedang ada urusan lain. Waktu itu sedang puasa Ramadhan, kami berdua disuruh ngamen keliling kampus selama dua jam penuh. Udah panas, haus, disuruh nyanyi-nyanyi serta mempedekan diri sepede-pedenya. Ditambah harus minta bayaran ngamen pula....huaduuuhhhh!!!! dari kejauhan kami diawasi senior (Mas Komenk) sehingga kami tidak berkutik dan mau tidak mau harus menyelesaikan tugas melawan rasa tengsin ini. Di penghujung acara ujian yang maha tengsin ini, kami berhasil mengumpulkan uang empat belas ribuan. Hahahaaaa.... kere tenan ya!
Perjuangan belum berakhir, sodara-sodara. Saya harus ikut sesi praworkshop yang diadakan di lingkungan kampus. Selama kegiatan, Saya dan teman-teman tidak diperbolehkan tidur di sanggar beta yang anget. Kami harus tidur di tenda darurat yang sempit. Ditambah malam harinya hujan, dingin dan sekitar tenda jadi becek. Plus masih bulan puasa pula. Jam setengah 3 dini hari saya terbangun gara-gara di luar mas-mas senior pada gaduh. Gaduhnya bertema ngebangunin kami yang pada tidur untuk segera sahur, dan gaduhnya bikin perut sakit plus lapar..ahahhahhaha!!!! jadi deh kami sahur bareng pake alas daun pisang panjang yang dimakan rame-rame. Di akhir acara, diadakanlah mini pentas perkelompok. Hai Amink, masih ingatkah kau ‘terkena’ sipilis???????? Xixixiix.... puncaknya, tengah malam kami dibaiat, mandi kembang tengah malam jangan kau lakukan,,,hoooooo atis tenan,,,,
Dan the end of all, saatnya muncak ke Gedongsongo. Rekreasi? Oh NO!!!! Saya dan rombongan satu truk (persis kaya sapi-sapi mau dibawa ke tempat pemotongan) beserta atribut-atribut berangkat ke medan perang sesi terakhir yaitu workshop. Hampir sama dengan praworkshop,tapi materi yang disajikan lebih banyak dan komplit; olah rasa, olah gerak ( sampai-sampai tulang terasa patah-patah), dan olah vokal yang bukan sekedar jerit-jerit sampai serak. Saya ingat, kami disuruh berhitung mundur melompat empat-empat dari seratus sampai nol; 100,96, 92, 88.... halah bingung. Salah sekali aja langsung disuruh ulang dari awal. Trus disuruh nyanyi bareng-bareng yang separo nyanyi burung kakak tua, yang separo lagi nyanyi topi saya bundar. Karena kurang konsentrasi, akibatnya lirik lagu jadi ketuker dan kebalik-balik.
Oh ya, di acara workshop ini, kami dikonsep menjadi sebuah perkampungan yang terdiri dari keluarga yang masing-masing kemudian hidup bersama di dalam tenda. Selayaknya keluarga, selama workshop kami wajib berperan menjadi sosok yang telah ditentukan. Ada ayah, ibu, adik, dan kakak. Dulu saya punya ‘keluarga’ yang cakep-cakep dan cantik-cantik, yaitu mas Mughis jadi ayah, Lia jadi ibu, saya jadi anak pertama, Amink dan seorang muridnya Mas Hamam jadi adik saya. Suatu malam, terjadi hujan lebat yang melanda ‘kampung’ kami. Akibatnya, beberapa tenda jadi tidak layak pakai karena bocor. Untunglah tenda keluarga saya aman. Tapi dampaknya jadi pos pengungsian para ‘tetangga’. Di tengah hujan yang tak kunjung berhenti, si Amink kelaparan. Tapi tak tahu mau nyari makanan di mana tengah malam seperti itu. Akhirnya dia memutuskan merebus mie instant dengan bantuan lampu uplik yang remang-remang. Ditunggu lama airnya tak kunjung mendidih. Setelah menanti berjam-jam akhirnya mateng juga. Apesnya Amink, mienya mateng langsung anak-anak pada bangun nyerbu. Mungkin dia Cuma kebagian dua sendok kali ya,,, sabar yo Mink...hehe
Sebenarnya di acara workshop ini kami dilarang membawa uang. Uang harus dititipkan ke panitia workshop karena di ‘kampung’ kami sudah ditentukan mata uang baru. Tapi tetap saja kami harus menggunakan rupiah asli untuk bayar mandi. Dan yang menyebalkan, toilet pendopo yang harusnya merupakan fasilitas gratis ikut-ikutan ditungguin ibu-ibu yang narik bayaran waktu kami maw pipis. Huah bener-bener bangkrut deh yang pipisnya sepuluh kali. Lha cuaca dingin jadi pengen bolak-balik kamar mandi terus.....
Seperti halnya praworkshop, di akhir acara juga ada pentas wajib perkeluarga. Hmmm, dulu ‘keluargaku’ kebagian aliran absurd, pertunjukannya just nari-nari,,but bukan nari yang biasa karena tiap gerakan ada maknanya. huah katanya kayak semi erotis, menyesuaikan tema. Idenya mas Wahib kok. I’m sorry, I’m not a good dancer. Hehe
Di hari minggu esoknya yng cerah ceria, kami harus bersiap pulang,,, tapi karena nunggu jemputannya lama sekali, akhirnya yang jago nyanyi dan punya rasa pede mahaberat malah ikutan nyanyi sama para biduan. Kebetulan di situ ada organ tunggal. Yach, saya menikmati aja deh,,nyumbang applaus. Plok plok plok...
That’s all prosesi saya masuk ke teater beta. Saya merasa sangat bangga bisa bergabung menjadi salah satu warganya. Awal-awal semester saya sangat intens berlatih dan banyak ambil bagian di setiap event yang diadakan beta. Bahkan saya rela berminggu-minggu kehilangan jatah tidur saya gara-gara harus latihan untuk pementasan. Sungguh tak ada beban karena saya sangat-sangat menikmati proses itu. Ada kepuasan tersendiri yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata ketika proses itu akhirnya sampai pada puncak pementasan yang sempurna. Meski seiring waktu saya tidak lagi intens seperti dulu, tapi saya masih tetap mencintai beta dan semua di dalamnya. Saya banyak mendapat pengalaman berharga, keluarga dan kebersamaan dari beta. Itulah mengapa saya setuju jika saya memang tersesat di jalan yang benar karena saya menemukan banyak hal yang berharga di sini. Benar kata para senior dulu waktu saya baru menginjakkan kaki di beta: ”beta punya kunci masuk, tapi tak punya kunci keluar”. Karena beta adalah keluarga, dan selamanya keluarga tak bisa terputuskan. Walau saya tidak ada, saya selalu merasa dianggap ada dan terus ada. Begitupun sebaliknya. Kadang saya bermimpi bisa kembali berproses bersama dulur-dulur lagi. Hmmm, Saya sangat merindukan rasa itu datang lagi.




0 komentar:

Posting Komentar