Halaman

Sejenak Waktu Itu

Waktu benar-benar menjadi baru
saat aku menghirup udara yang lain ini; beku
namun aku hangat di balik kain-kain tebalku
larut malam tak pernah lagi membangunkanku
aku benar-benar sempurna dalam maya
abadi dalam mimpi
sampai sinar pagi hangat meniup ke pipi

berdendang tentang indah di luar sana
yang berjarak hanya beberapa detik langkah
tinggal aku harus menyambutnya
sejenak waktu itu...
tanpa waktu lain lagi yang mengenyahkanku

When I, She, You were Young with Him (sepenggal cerita yang tersisa dari kenangan seorang ayah)

walau tubuhku tidak tinggi besar sepertinya
walau hidungku tak mewarisi hidung mancungnya
walau aku tak selembut dia
walau aku tak sesabar dia
walau aku tak sepintar dia
aku hanya mewarisi golongan darahnya
aku hanya mewarisi kecintaannya pada kucing-kucing, yang selalu dipeluk dan diciuminya
aku hanya mewarisi kesukaannya pada kamera, dan selalu ingin difoto
aku hanya mewarisi kegemarannya pada makanan bernama pisang goreng dan kacang
tak ada ayah seperti ayah dalam hidupku
kadang berlaku dingin
sering pula bersikap hangat
ayah hampir selalu pulang membawakan aku kejutan
walau aku tidak pernah meminta
ia tahu aku selalu menyambutnya dengan senyum yang sebenarnya
aku: anak ayah yang paling bangga dengannya

(about 1995-1998)
Ayah tak bilang apa-apa
hanya mengunciku di luar ketika aku pulang lewat jam sembilan malam
padahal dari luar rumah aku tahu televisi di ruang tengah masih menyala
ayah masih menontonnya, atau mungkin menungguku yang pasti pulang
walau di waktu yang tak tahu aturan; menurut ayahku
aku mengetuk pintu depan, tak ada jawaban
aku merasa di buang
aku mengetuk pintu samping
perlahan ayah membuka pintu
ia tak mau menatapku
aku takut........
tapi aku mengulangi di malam berikutnya
lagi... dan lagi...
wajah ayah selalu dingin

(1999)
hobiku beralih lagi
kali ini aku memilih mengumpulkan warna-warni perangko
tampaknya indah dan lucu-lucu, kelihatannya begitu
oh,,aku juga terprovokasi saudara sepupuku yang lebih dulu menyukai itu
lalu aku bertemu dengan seorang sahabat yang berminat sama
aku mulai memburu
kantor pos kujelajahi
lembar-lembar surat usang kubiarkan menjadi cacat tanpa perangko
aku 'menodong' sana-sini
benda-benda mungil itu dengan cepat tersimpan di kotak harta karunku
ayahku ikut-ikutan
ia membongkar isi lemari tua yang penuh dengan tumpukan buku-buku usang kecoklatan
ia mengambil kardus rapuh dari dalamnya
penuh buku
penuh kertas
penuh debu
penuh kartu pos!!!!!
ada berjuta perangko di sana!!!!!
mendadak aku seperti buaya kelaparan yang menemukan rusa gemuk

(about 1993-1998)
ketakutan dan kekhawatiranku hampir selalu muncul saat menjelang terima rapor
aku takut hanya mendapat rangking 2
aku takut mengecewakan ayah
walau ayah tak pernah akan marah
hanya sedikit memprotesku
apa ayah bangga aku bisa nomer satu?
lalu keuntungan apa yang bisa didapat jika aku jadi yang terbaik di kelasku?
tak ada kompensasi materi
tak ada penghargaan dari sekolah
tak ada uang yang diperoleh seperti anak-anak yang ayahnya kerja di pabrik rokok
tapi ayah selalu memberiku hadiah
ia akan mengajakku ke mall matahari
bagiku itu hadiah yang sangat istimewa
walau nanti kami tidak membeli banyak barang dari sana
uangnya tidak cukup
tapi aku tetap senang

(menjelang lebaran 1992)
ayah tetap seorang ayah
ia tetap seorang lelaki
yang tak punya selera bagus untuk baju anak perempuannya
meskipun....
setiap pulang dari tugasnya yang jauh
ayah hampir selalu membelikanku baju
dan aku selalu menyukainya
tak peduli bagaimanapun bentuk dan polanya..
saat menjelang lebaran aku di bawa ke toko baju ternama
aku bingung banyak sekali baju bagus
aku tak bisa memilih
ayah dan ibu berebut memilihkan untukku
pilihan ibu bagus-bagus, rok mungil sutera warna salem mengkilat dengan rumbai menyamping
aku diam dan menggeleng
kubayangkan itu rumbai itu seperti rumbai yang dipakai artis Elvi Sukaesih
walau hatiku mengiyakan; itu bagus
ayah mengambil baju hijau broklat
ibu menawariku baju dengan motif yang sama seperti pilihan ayah, dengan warna yang berbeda, warna biru
aku tahu warna pilihan ibu lebih bagus
tapi aku menyetujui baju yang dipilih ayah
aku tak tahu alasannya
(note: Baju itu kini dipakai keponakanku, Zair)

(last 1997)
Adikku ingin susu, susu berkalsium yang sering ku lihat di iklan-iklan
produk susu yang katanya bisa menambah tinggi badan
sebenarnya adikku tak terlalu tertarik dengan produk itu
ya,,,ia masih terlalu kecil untuk berkeinginan macam-macam
aku yang tertarik
ayah membawa kami ke sebuah apotik
menanyakan produk susu itu dan harganya
harganya hampir dua puluh ribu
ayah diam lalu duduk di bangku ruang apotik
ia tak bilang apa-apa tentang suatu masalah
ia mulai menghitung lembar-lembar ribuan yang dimilikinya
aku langsung tahu, uang ayah tak cukup untuk membeli produk susu yang kami inginkan
lalu ia membujuk adikku untuk membeli susu kaleng saja yang jauh lebih murah
dalam hati aku agak kesal
aku meracuni otak adikku, menyuruhnya tetap meminta produk susu itu
adikku pun tunduk padaku
ia merengek
aku merasa menang
aku tak peduli dari mana nanti ayah akan mendapatkan tambahan uang
ku pikir bisa berhutang
yang penting produk susu itu bisa kudapatkan
tapi ayah masih membujuk adikku dengan sabar
adikku diam
akupun jadi diam
akhirnya kami pulang membawa susu kaleng
aku tidak terlalu kecewa

(about 1994-2002)
entah sudah berapa kali kami pergi; hanya aku dan ayah
ayah selalu senang mengajakku untuk menemaninya
beramai-ramai dengan teman-temannya
berhari-hari di jalanan
menghitung ruas-ruas jalan
ah,,,aku paling suka pemandangan pantai
sayang kami hanya melewatinya
aku memandang dari jendela bus dengan penuh keinginan
hmmm,,,tak apalah....
toh ayah masih punya tempat-tempat indah untuk diperlihatkan padaku
ya, ayah selalu menjanjikan tempat-tempat indah untuk di kunjungi
dan ia tak pernah bohong
terakhir kita pergi berkeliling lagi, ke Jakarta
ayah berkali-kali minta difoto
ayah memang suka difoto
atau pemandangan masjid Istiqlal dan gereja Kartedral memang sayang untuk dilewatkan
kameraku penuh dengan foto ayah

(about 1993-1998)
deru motor tua itu sudah mendarah daging di telingaku
oh,, katanya ayah tadi pergi ke kota
entah mencari apa aku tak peduli
tak mau tahu
mataku berpendar mencari seonggok bungkusan
biasanya tersimpan di kresek hitam
ah.......itu dia!!!
jumlahnya sepuluh, seperti biasanya
aku tahu ayah tak pernah lupa
segera aku aku larut, kata demi kata, kalimat demi kalimat dari lembar-lembar itu
aku memesrai tulisan-tulisan dari kertas-kertas setengah kumal
sampai aku terlelap
jatuh ke pelukan malam
lalu setengah terjaga aku menyadari
tubuh kekar itu menggotongku ke tempat tidur yang selayaknya

(last 1992)
hari ini aku mulai sekolah siang hari..
masuk kelas dua
pertama kalinya aku merasa cantik dengan balutan kerudung hijau transparan
(hmmm...aku lupa siapa yang memberinya untukku)
aku berteriak-teriak tak sabar
mengajak ayah segera pergi ke sekolah
ayah tampak tenang tak menghiraukan ucapan gadis kecilnya
mungkin aku terlalu berlebihan
apalagi aku juga terlalu kecil
sambil menunggu, dalam hati aku tak siap menerimanya sebagai salah satu guru di sekolahku
tapi itu takdir
aku duduk di deretan terdepan
aku bangga
aku tak sabar
menanti kata apa yang akan keluar dari mulut ayahku,guru di kelas itu..
“Besok kalian kalo sekolah jangan pakai kerudung seperti itu,”, sambil menunjuk mukaku
yang tepat berada di depannya
seisi kelas memandangku, sepertinya mereka tersenyum-senyum mengejekku
aku masih kecil,
tapi saat itu aku ingin sekali di telan bumi
aku tak merasa cantik lagi

(pertengahan 1998-akhir 2001)
Pada masanya aku sangat tergila-gila dengan suatu bahasa; Inggris
saat hari pertama aku tahu tentang ei bi si dan tobe
aku berjanji untuk bisa
dan aku memang bisa
aku menunjukkan pada ayah bahwa aku berbakat
dan aku punya segudang niat
aku menyanyikan lagu-lagu Boyzone, Britney dan Westlife
aku rindu pulang ke rumah untuk sekedar memutar acara MTV
ouw,,, suatu siang yang iseng,,,
ayah menawariku untuk membeli kaset lagu barat; kaset berbahasa Inggris
aku terdiam, tidak mengangguk
ternyata aku justru menggeleng
entahlah, saat itu aku begitu terkejut
aku tak berfikir akan mendapat dukungan darinya
hanya sekejap hari itu
dan aku masih tergila-gila
masih pada lagu-lagu yang menyertakan lirik-lirik bahasa itu
makin tergila-gila hingga aku hampir tak tahu lagi lagu-lagu dari Indonesiaku
oh, kegilaanku menjalar...
sekarang aku juga gila pada sosok-sosok bersuara merdu
yang mendengingkan suaranya dari pita kaset berbahasa itu
aku mulai menempel gambar sosok itu di dinding
rajin mencari kliping
tampaknya ayah mulai muak
hari-hari selanjutnya pun semakin muak
tak ada tawaran untuk sebuah kaset berbahasa Inggris lagi
aku tetap memutar dan menyimak deru irama lagu bahasa itu di kamar
lalu pada suatu malam ayah mendobrak pintu kamarku
sedetik kemudian radioku sunyi
ayah 'membunuh'nya

(19 Januari 2002)
katanya ayah mau menjemputku
aku bosan mengendap di rumah nenek dengan segala tetek bengeknya
aku rindu rumah
walau aku tahu tak ada yang bisa kuajak bicara di sana
tak biasa-biasanya pula ayah bilang mau menjemputku
aku hampir enambelas tahun
biasanya pun akrab dengan bus kota
aku menunggu, tapi ayah tak kunjung datang
aku lelah menunggu
akhirnya aku kembali bertemu bus kota
melewati liarnya terminal Pati yang memuakkan
katanya ayah sedang tak enak badan
tapi ku lihat ayah baik-baik saja
aku heran kenapa siang itu aku membicarakan pelajaran-pelajaran di sekolah
tentang ini...tentang itu..
aku suka diajar ini...aku benci diajar itu...
ayahku mendengar dengan penuh perhatian
bagaimana bisa???
padahal semenjak SMP, raporku pun ayah jarang menyentuhnya
“Jadilah ahli mantiq, In....” sepenggal kalimat itu meluncur dari bibirnya
entah pesan, entah dorongan, entah apa.....
yang jelas setelah itu aku tak pernah lagi melihatnya berbicara
alam telah merentangkan jarak begitu jauhnya


sesudah ini berlalu

Sesudah ini berlalu
lalu mau ke mana?
Teruskah menuruti langkah yang tak jelas?
Dengan ketakutan akan pertanyaan-pertanyaan?
Aku sendiri takut dengan pertanyaan yang ku ajukan
lalu siapa yang akan menjawabnya?
Karena pertanyaan itu pun takkan aku lontarkan pada orang lain

…..mencoba memunahkan itu...
melemparnya sejauh kekuatan tanganku
biar membusuk di ujung sana
tanpa pernah terjawab
biar lapuk di makan waktu
sesudah ini berlalu
ternyata masih ada yang belum berlalu
mengendap sunyi dalam keterasingan
menunggu keacuhanku
lalu sampai kapan????

mereka bullshit

Aku mengenali diriku
seperti aku liar
seperti aku tak punya pegangan
aku mengatakan apa yang ingin aku katakan
aku melakukan segala kehendak
seperti aku kebal hukum
aku tertawa melihat mereka mengelus dada
ah!!!! toh aku tak butuh mereka

mereka cuma bisa meracuni otak
mendoktrin hal-hal yang bullshit
mereka cuma bisa ngomong
menghamburkan ludah-ludah busuk
muaranya sungguh memuakkan; “uang dan status sosial”
sampai kapan mereka terus mengagungkan?
Biar!!!!
aku damai dengan hidupku
toh aku tak pernah mengemis apapun dari mereka
aku benci kata-kata yang seenaknya mengguruiku
padahal sejatinya mereka tak tau hidupku
aku akan pergi ke mana aku mau pergi
oke,,oke,, aku masih punya tanggung jawab
tenang saja, aku masih selalu ingat ke mana aku akan kemabali
tapi bukan saat ini
nanti!!!!
saat keangkuhan membunuh mereka pelan-pelan

memori kamar mandi

Aku ingin menuliskan sesuatu tentang Tuhan
tentang keagunganNya dan semesta
tapi aku selalu terlupa
kemarin malam aku teringat kembali
sialnya....kenapa harus di kamar mandi????
lalu aku lupa lagi

tadi sore kamar mandi merefresh memori itu lagi
ahhhhh......
tak ada tempat yang lebih pantas kah????
ingatanku malah membuatku kelu
tak bisa ku tulis apapun
ingin hanya tinggal ingin saja
bah!!!!!

maaf

Dalam hati aku menyesali sesuatu
yang kuanggap dosa dan tak pantas
mungkin orang lain juga akan mencemooh
tapi selalu aku terlalu angkuh untuk mengakuinya
aku memilih menjadi amnesia sejenak
daripada mengingat kesalahan-kesalahan yang mengumpul
tapi kadang aku benar-benar terganggu
dengan suasana, situasi, dan diriku sendiri

mungkin seperti monster atau hantu
kemarin...
hari ini...
bisa saja juga berlanjut besok dan seterusnya
penyesalan cuma gertak sambal
lalu kan terjadi lagi dan lagi
maafkan,,,
mungkin itu dulu
semoga jiwamu mendengarnya

embun

Kutitipkan rindu pada embun yang berjalan ke timur
maka ambillah embun pertama yang menyapamu esok nanti
lantas, jangan terlambat bangun
sebelum matahari itu mengusir embun itu dari depan pintumu
(timur banua, 02 November 2009; 23:52)

Dan, kamu lupa pada embun yang semalam kuutitipi rindu
senyatanya kamu tetap kukuh dalam keacuhan
dengan membiarkan embun itu terusir mentari, tanpa sapaanmu
dan kini aku merasaimu tumpul dan berkarat
(timur banua, 03 November 2009; 06:02)

maafkan aku...
jika mentari ternyata tak cukup tangguh untuk membangunkanku
bahkan sekedar membuat tubuhku bergeliat
hingga embun yang kamu titipkan pun menguap lenyap terbawa hangat
hanya panggilan sayang itu,
akhirnya mampu menyapaku
tapi bodohnya aku
membiarkan embun yang hampir luruh itu benar2 hilang
tanpa titipan sapa untuk senyummu
(aina, after the next two hours)


bantu aku

Bantu aku...
mengenali diriku yang sebenarnya
aku merasa sebenar-benarnya keabstrakan
tiba-tiba saja aku menemui sebuah tujuan
tanpa perjalanan dan proses
mendadak pula aku terhenti
bersama kepercayaan yang remuk redam

Bantu aku...
menjejakkan kaki ke mana saja
ke arah-arah yang menyematkan keteguhan
menjadi diriku yang kuyakini
hingga setiap penggal nafas tak pernah lagi sia-sia
sampai batas apa
sampai titik apa
sebenar-benarnya kesempurnaan semesta


mati suri

Aku ingin kembali bercinta dengan pena
menuliskan kata-kata
aku rindu menafsirkan keindahan rupa
aku ingin bercerita bagaimana aku sangat bahagia
tanpa kata makian lagi

namun kertasku masih kosong
seperti aku sedang menunggu ayat Tuhan
tapi yang datang hanya kering dan gersang
kapan buku-buku itu penuh tinta lagi
'sedang mati suri'
semoga ini hanya tidur sesaat


hahaha....!!!

Hahahaha.....
uuupssss....ingin tertawa saja
boleh ya????
sudah lama tidak tertawa
tawa yang lepas bebas terbang
sesudah tertawa lalu jalan-jalan
ah, segarnya udara kebebasan
harumnya wangi jalanan

asap knalpot bagai ganja yang mencandui pemakainya
deru mesin bagai irama jazz yang menidurkan
dan kumpulan manusia yang berdesakan seperti para pengawal-pengawal yang menjaga malam
tangis-tangis kecil sudah dipalingkan
kesedihan sudah dimakamkan
yang ada hanya wajah-wajah yang sumringah
mengenyahkan lelah
ah....
mari...
tertawa lagi....
terus....dan lagi...
hahaha...


kontras

Aku menyebutmu sombong
namun aku juga sama; dengan kesombongan yang berbeda
kita berebut idealisme
tanpa jenuh menggembar-gemborkan kebenaran; yang kita usung sendiri-sendiri
kamu keras kepala
begitupun kepalaku

tak mau pecah dengan doktrin-doktrinmu
sesat, kataku
kamu mencibir keyakinanku
tentang hal-hal yang kuanggap layak untuk hidupku
akupun hampir-hampir muntah dengan jalanmu yang tidak biru
yang dulu kuharap membirukan ruangku
aku tersudut olehmu
akupun ingin menepikanmu
jauh dari hidupku
biar gersang dulu
biar aku menyemainya dengan waktu


sepenggal kenormalan

Aku tak ingat bagaimana aku dilahirkan
sepertinya tiba-tiba saja aku menjadi tua
tapi selalu aku merasa tak ada yang berubah dari waktu ke waktu
aku hanya menjelma tua
dengan rangkaian lilin yang menemani setiap tahun
seolah lilin-lilin itu bersiap melumatku
habis!!!!

sepertinya aku masih seperti sepuluh tahun lalu
saat aku dianggap pantas untuk dimaki dan dicaci
mulutku seperti disumpal tak boleh komentar
tak ada pembelaan
hanya rasa kasihan
saat itu aku diam, lalu diam-diam menangis
entah di kamar atau di sudut-sudut gudang
lalu kembali bertampang seolah tak ada apa-apa
sepenggal kenormalan, waktu itu

Aku tak ingat bagaimana waktu merubahku menjadi dingin, hampir-hampir beku
saat aku bersiap menutup telinga untuk setiap kata-kata yang terlontar
saat aku bersumpah untuk tak pernah meneteskan air mata
hanya karena hal-hal yang sakit....
Aku tak ingat bagaimana aku dengan enteng menebar duri pada si pesakitan
pada raga-raga, jiwa-jiwa yang ganjil
dan aku tak pernah merasa bersalah
karena dibelakang menyisakan kepuasan
sepenggal kenormalan bagiku, sekarang



bagaimana bisa

Aku bahkan tidak bisa benar-benar melupa
apalagi belajar membenci
yang ada aku hanya berkata 'iya' untuk hati yang munafik
aku bahkan terlalu lemah, selemah-lemahnya keadaan
kemudian membatu
berkali-kali dihunjami rasa sakit yang samar
hingga rasa sakit itu perlahan menjadi candu

aku lupa bagaimana harus menangis untuk segenap kekecewaan
aku lupa bagaimana harus meledakkan amarah
aku lupa bagaimana aku harus bercerita pada dunia yang dulu aku percaya
karena sekarang dunia adalah pembohong terbesar
yang bersiap menampar setelah sedetik lalu menghujani pujian untukku
kata-kata hanya kata-kata
yang diperdengarkan, lalu diterbangkan angin tanpa jejak
entahlah, jantungku nampaknya sudah berkarat
atau mungkin telah menjadi serpihan seperti habis dilumat
habis sudah!

Miss “Ihik-ihik”

Pernah ngerasain punya teman yang nyebelin nggak? Bukan nyebelin sih, tapi super duper nyebelin very much! Kira-kira kalau ada perlombaan orang paling nyebelin, kayaknya bakalan bersaing ketat sama Jeng Kelin, ratunya makhluk nyebelin yang sering muncul di salah satu acara televisi swasta.
Manusia nyebelin yang satu ini sebenarnya seratus persen waras, sehat wal-afiat fiddunya wal akhirat, mengenal nasi sebagai makanan pokok orang Indonesia juga. Soal wajah lumayan lah, antara cantik dan nggak cantik alias rata-rata manusia gitu. Penampilannya pun oke punya, setidaknya nggak bikin belekan mata yang melihatnya. Ya, setidaknya itulah nilai rapor bagian plusnya yang berhasil kurekap selama berabad-abad menjadi teman sekosnya, yang alhamdulillah sekamarnya juga.