Halaman

only hope,, hope,,

Today is last day of 2010. it means besok kalender di dinding udah harus diganti yang baru; kalender 2011. Rasanya cepet banget waktu berjalan. Rasanya baru kemaren saya menghabiskan malam tahun baru sama tiga sahabat saya, Nayla, Nisa dan Yayuk. Yeah, tahun baru kemaren just nggombal ngeweh nggambleh di kos doang sama mereka, begadang semalaman. Kemungkinan besar malam ini pun saya akan tetep stay di rumah aja, karena kebetulan saya juga tak terlalu suka keluar melihat keramaian yang over seperti perayaan malam tahun baru.

Tahun 2010, tahun yang sangat berarti buat saya. Di tahun ini, saya bisa bangkit dari keterpurukan dan ‘sakit mental’ yang mendera saya sepanjang tahun 2009. Saya bisa mulai menggarap judul skripsi saya (yang sebenarnya udah keterima sejak tahun 2008 tapi gak saya garap-garap karena banyaknya masalah di tahun 2009). Dengan semangat Bung Karno, awal tahun 2010 saya mulai mengerjakan skripsi saya, dan alhamdulillah di bulan Juli saya bisa meraih gelar sarjana saya dengan predikat cumlaude, IPK 3,72 dengan peringkat nomor dua seprogram studi Pendidikan Bahasa Inggris (gelar wisudawan terbaik diraih sahabat saya Saykul dengan IPK 3,73. Cuma selisih 0,01 dengan saya). Ehemmm,,,,ehemmm,,,,
It means everything on 2010

Now, saya udah gak kuliah. Saya udah stay dan mulai ngajar di kampung halaman. Saya udah memulai hidup yang jauh berbeda dibanding waktu saya masih kuliah di Semarang. Hmm, harus banyak adaptasi nich. Yach, walau saya tinggal di rumah sendiri tetep aja harus ikut aturan. Salah satu yang paling berat adalah harus bangun pagi-pagi banget. Tau sendiri dulu waktu masih di Semarang saya paling susah bangun pagi. Dan ‘IKHLAS BANGUN PAGI’ menjadi resolusi awal saya untuk tahun 2011. Haha, terdengar sangat sederhana dan sepele ya, tapi bagi saya hal itu sangat susah-susah gampang (banyak susahnya). Saya akan kasih dua jempol buat diri saya sendiri kalo saya bisa rutin bangun pagi tanpa ngandalin dibangunin simbok! Ehehehe...

Tiga Pintu

Tiga pintu di negeri itu
dengan rumput hijau yang beranak
dan rayap-rayap bergelantungan
berhamburan berebut spasi
di rumah emas

tiga pintu di negeri itu
menganga luka
tak berkunci
seribu lalat
menyebar muntahan peradaban
melukis kiamat bisu

tiga pintu di negeri itu
menenggelamkan yang kian pudar
ke dasar sayatan
menerbangkan kurus
terbuang di galaksi termajnun
tanah yang gersang
mengoyak lutut

Catatan Kecil Euforia Final Piala AFF dari Dunia Maya

Euforia piala AFF sudah berakhir. Dan indonesia benar-benar mengukuhkan ‘qolabnya’ sebagai spesialis finalis (yeah, kalo tidak salah ini sudah keempat kalinya) tanpa pernah mengecap manisnya menjadi juara. Yang bikin tambah gak asik, kalahnya sama Malaysia, yang notabene akhir-akhir ini lagi kisruh multidimensi sama negara kita tercinta ini.
Yach, kalau dipikir-pikir sayang banget sih, padahal ini kesempatan bagus buat Indonesia untuk membuktikan kalau sepak bola Indonesia sudah bangkit. atau mungkin Timnas terlalu larut dalam hujan pujian atas kemenangan gemilang pada babak penyisihan dan semifinal? Entahlah.. tapi memang tak bisa ditutup-tutupi kalau permainan Timnas indonesia pada leg 1 di Stadion Bukit Djalil Malaysia memang tak seindah di pertandingan-pertandingan sebelumnya. Apalagi ditambah pecahnya konsentrasi para pemain Indonesia pada babak ke 2 akibat adanya petasan dan sinar laser dari supporter Malaysia.
Saya yakin, penduduk Indonesia yang pada nonton pertandingan final kemarin memang kecewa dan mungkin banyak juga yang marah. Saya juga kecewa, tapi tak sampai marah-marah. Di saat gawang Indonesia sudah kebobolan, akhirnya saya agak malas menghadap layar televisi. Saya memilih berpaling ke layar handphone, membuka Facebook. Dan Ya ampyuuuuuunnnnn, status di Facebook 100% soal bola! Ungkapan kekecewaan, kemarahan bahkan hujatan untuk Malaysia memenuhi beranda Facebook saya. Saya jadi senyum-senyum sendiri, isi statusnya lucu-lucu dan lebay... mayoritas mengkritik pedas soal laser supporter Malaysia yang mengganggu Bang Markus. Tapi ada juga yang mengkambinghitamkan kostum hijau putih yang dipakai Timnas. Coba kalo pake merah putih ya, mungkin hasilnya akan beda. Hehehe,,,,
Pertandingan leg 1 usai ternyata belum membuat ‘pertandingan yang lain’ ikut usai. Dua puluh empat jam setelahnya di Twitter masih ramai ngomongin bola. Bahkan kata ‘Indonesians’, ‘Malaysians’ dan ‘HATE MALAYSIA’ cukup lama nongkrong di Trending Topic.

Cerita Hantu dari Rumah Nenek

Rumah nenek, sebuah rumah berukuran lumayan besar berarsitektur  Jawa kuno dengan empat tiang besar khas yang terbuat dari kayu jati menopang atap di ruang utama. Rumah nenek, sebuah rumah di desa yang dikelilingi oleh banyak pohon dan sungai mengalir di depannya, yang menyajikan keasrian tersendiri. Rumah nenek, sebuah rumah tempat saya bernaung, makan dan minum saat saya masih sekolah enam tahun lalu. Dulu, saya sangat senang tinggal di sana. Sungguh rumah yang ramai! Tentu saja di sana ada nenek, ada paman, tante, dan beberapa sepupu yang juga tinggal di sana. Selain itu, ada banyak santri yang mondok ngaji nyambi sekolah.
Tak ada yang istimewa dari rumah nenek, dan menurut saya tak ada pula aura seram di dalamnya. Selama bertahun-tahun saya tinggal di sana, saya tak pernah menemukan keganjilan-keganjilan. Namun ternyata banyak di antara mereka yang pernah tinggal atau sekedar mampir menemui hal-hal yang agak ataupun malah sangat menakutkan. Mau tahu? Let’s read it:
1.         Adik saya, Fahmi, sedang sholat di musholla rumah, saat tiba-tiba muncul sosok absurd dan menjulurkan lidahnya di hadapan muka adik saya. “WEEEEKKK” kira-kira begitu makhluk itu seolah meledek.
2.         Pada suatu tengah malam, Sepupu saya dek Ety, dan ibunya sedang asyik ngobrol. Tiba-tiba terdengar suara ketukan berkali-kali yang semakin lama semakin keras, padahal saat itu semua orang sudah tertidur pulas. Mereka berdua yang ketakutan spontan membaca Ayat Kursi. Saking takutnya, mereka ngebacanya sampe belepotan. Hahahaha, mungkin ‘makhluknya’ terganggu dengan suara berisik mereka kali ya.
3.         Sepupu saya,Mbak  Mayya, sedang melewati kamar E (salah satu kamar santri). Ia mendengar suara orang mendesis-desis padahal saat itu sedang tidak ada orang.

Menanti Derai

Lama tak menjumputi kembang di bibirmu
Menerawang bening mata yang menyimpan lanskap hidup
Tentang terang dan gulitanya
Aku rindu ceritamu tentang dunia-dunia yang katamu ambigu
Tentang jalan dan rumah yang seolah tiada mau,
Saling mengingatkan.
Pun aku,
Kepingin sekali bercerita tentang inginku
Merebah di rumah yang amat jembar dan benderang:
Dadamu

Originally copied from:
http://www.facebook.com/home.php#!/notes/musyafak-timur-banua/menanti-derai/10150147678168976

Antara Saya, Jerawat, dan Ayam

Jerawat, mungkin cuma seonggok benjolan kecil di muka yang tidak terlalu berbahaya. Tapi seringkali si jerawat ini bikin keki si empunya karena dianggap mengurangi indahnya penampilan saja. Saya adalah salah satu dari sekian banyak orang yang hampir tidak pernah absen dikunjungi si makhluk pink nan mungil  yang cukup menyebalkan itu. Tumbuh satu, hilang satu, tumbuh lagi satu, dan seterusnya. Untunglah jarang sekali si jerawat menyerbu merata di seluruh muka. Kalau sampai itu terjadi, oh my God,,, gak bisa bayangin deh!
Seingat saya, jerawat mulai menyerang muka saya ( yang dulu mulus) semenjak akhir SMP. Waktu itu kalau tidak salah saya mulai coba-coba memakai pelembab; hasil dari ikut-ikutan teman yang sukses memakainya. Tapi apa yang terjadi??? Muka saya jadi sangat berminyak dan gampang kusam. Saya mulai menyadari saya telah memasuki masa remaja di mana hal tersebut sangat wajar terjadi. Tapi setelah panen minyak, muka saya mulai diserbu jerawat. Tidak parah tapi cukup membuat saya kalang kabut sampai-sampai memutuskan untuk membasminya dengan cuci muka di salon. Orang-orang mulai berceloteh kalau saya lagi jatuh cinta, makanya tumbuh jerawat. Grrrr!!!! Saya ingat waktu itu bahkan saya tak punya teman laki-laki sama sekali. Ada lagi yang bilang jerawat tumbuh gara-gara saya suka makan kacang, sampai-sampai saya menjauh dari si kacang. Tapi tetep aja jerawat masih setia nangkring. Saya stress, apa yang terjadi dengan muka saya? Padahal seluruh garis keturunan saya; orang tua, saudara, sepupu, bulek, paklik, tak ada yang punya riwayat jerawat. Akal saya jadi pendek. Setiap ada produk cuci muka atau pelembab muka yang baru, langsung saya beli. Tapi satupun tak ada yang manjur. Saya ingat, saya bahkan sempat mengikuti anjuran sepupu saya yang sangat aneh, agak gila dan tak masuk akal. Bayangkan, saya disuruh mengelap muka saya yang berjerawat pakai celana dalam paklik saya yang belum menikah, ya syaratnya memang celana pria yang belum menikah, dan celananya harus yang belum dicuci. Bayangkan!!!!!

Happy Birthday, Beta...........

21, 22, 23, 24 Desember 2010
Horeeeeee.... saya ke Semarang lagi... empat hari lumayan lah! Sebenarnya tanggal 20 saya sudah ke Semarang wisuda mami, eh keesokan harinya langsung terbang lagi. Ckckck..benar-benar kayak setrikaan ya! Mumpung liburan,,, hoho..
Tujuan saya ke Semarang kali ini adalah:
1.       Ikut ngrusuhi harlah teater beta yang ke 25
2.       Angkut-angkut barang saya yang masih tersisa di ruko
3.       Ketemu pacal saya (Hehehe...)
4.       Wisata kuliner Ngaliyan yang biasa-biasa aja tapi cukup ngangeni...
Well, saya di sini cuma mau cerita about harlah beta. Happy birthday, Beta... Gak terasa beta udah ultah yang ke 25. Lebih tua setahun dari umur saya yang masih imut-imut ini.hehehe. Agenda acaranya sebenarnya banyak sie,,, ada pameran lukisan, bazar buku, launching antologi puisi, pentas musik, pembacaan puisi, nonton film bareng, pementasan teater, reuni akbar, dan lain-lainnya. Tapi karena keterbatasan saya sebagai manusia, saya hanya bisa ikut nonton film bareng, pembacaan puisi dan pementasan teaternya. Gak pa-pa lah, sudah cukup untuk mengobati kangen saya sama teater beta.
Pembacaan puisi dan noBar diadakan pada 22 Desember di malam hari di halaman depan PKM kampus 2 lengkap dengan panggung khas konser musik (pasti tadinya abiz dipake buat pentas musik). Banyak juga yang dateng, all warga beta dan komunitas teater seSemarang. Mereka bergantian membacakan puisi dengan gaya khas mereka masing-masing. Semua dapet nilai plus-plus deh. Khusus dari saya. Hehehe....
lagi baca puisi nich...

After pembacaan puisi, kami nonton film bareng. Film indie by Teater Kaplink (Udinus) berjudul Pawon. Ceritanya menyoroti kehidupan rakyat pinggiran yang mengandalkan hidup dari mengolah ikan. Suatu ketika musim baratan (yang menyebabkan kesulitan mencari ikan, sehingga mereka tak dapat stok ikan) telalu awal datang. Praktis mereka tak bisa bekerja, pawon tempat mereka biasa mengolah ikan tak lagi mengepul, tak ada pemasukan... hoho, itu versi saya sendiri yang saya simpulkan setelah saya nonton film tersebut. Gak tau juga kalau ada makna lain, coz saya juga gak nerusin ikut diskusi filmnya.

Apatis

Jika aku menjauh
berhenti bicara dan mendengar
biarkan saja
karena toh akan menjadi sampah yang kulempar jauh
semua nyanyian sumbangmu
menyakitkan telinga
bukankah lebih baik membisu
aku pun diam
takkan mengusikmu
jangan mengusikku
aku tak mendengar
sumbangmu menyakitkan

--------------------------
Iin aina

Menjadi Tua

Lama sudah tak bertatap parasmu
wajahmu kini kisut
penuh kerut
tatapanmu ragu
sayu
lama sudah tak dengar suaramu
kini yang aku dengar hanya pekikan
dan batuk tertahan
aku ingin bertanya
tapi spontan tatapanmu melarangnya
kau tersenyum
lalu terkekeh seperti monster
kau tunjuk mukaku dengan jari tua kehitaman
"ke mana cantikmu yang dulu?", tanyamu
setengah melengking,
aku tersadar...

--------------------------
Iin aina

Bus, Bus, dan Bus

Bus, kendaraan umum yang gak terpisahkan dari saya. Mungkin bagi sebagian orang males banget naik bus karena sumpek, panas, banyak pengamen dan rawan kriminalitas. Hoho emang sih, tapi bagi saya yang gak betah naik motor lama-lama, bus emang jadi alternatif pilihan. Saya berani naik bus sendiri sejak umur 12 tahun. Waktu itu naik bus jurusan Pati-Kudus. Dari sana saya banyak bertemu berbagai macam orang, banyak kejadian yang saya temui, yang nyenengin, yang njengkelin… mngkin banyak njengkelinnya, tapi tetap gak membuat saya kapok nguber kendaraan yang satu ini karena banyak pelajaran dan pengalaman yang saya dapet: melihat realitas kehidupan dan berlatih sabar.


ini adalah gambar bus (bagi yang belum tau apa itu bus)

1.      Dulu waktu awal saya di Semarang, saya mengira semua bus pasti bermuara di terminal Terboyo. Tanpa tanya-tanya lebih dulu, Dari kampus IAIN Walisongo, saya dengan pedenya naik bus Damri Ngaliyan-Pucang Gading. Walhasil, saya mentok sampai Pucang Gading dan baru saya tahu kalau bus ini tidak transit di Semarang. Huffff,,,cape deh! Padahal hari sudah sore dan saya harus segera pulang ke Kudus.
2.       Waktu mau main ke rumah teman di Kendal, saya pernah ditipu dan ditelantarkan kernet bus. Waktu mau naik bus, saya tanya apa bus ini lewat daerah Brangsong? Si kernet bilang iya. Lalu saya naik. Tak berapa lama si kernet memanggil saya dan mengatakan sudah sampai. Saya turun dari bus. Saya clingak-clinguk,akhirnya saya sadar saya tidak diturunin di Brangsong karena ternyata bus itu tidak lewat Brangsong. Sialnya, saya diturunin di Karanganyar. Dan masih lebih dari separuh perjalanan menuju Brangsong. Dasar kernet kurang ajar ya! Nyari duit mpe tega nipu penumpang kayak gitu. Sabar,,,sabar,,,

mami juga wisuda...

Hari senin, tepatnya tanggal 20 Desember 2010, akhirnya mami wisuda juga....
kata beliau, gak nyangka bisa sampai ending dengan toga dan jubah kebesaran serta ijazah bergelar S.Pd.I di tangan. coz awal mula kuliah hanya iseng karena kebetulan Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang membuka program perkuliahan cabang di Kudus, dan perkuliahannya pun hanya dilakukan seminggu sekali yaitu tiap hari jum'át. so, bisa lah nyambi kuliah sambil tetap melakukan pekerjaan rutin.

Rombongan wisuda: 3 anak, 1 cucu (Fahmi, mami, aku, mbak Heny, Zair)

jadi inget jalan menuju wisuda yang ribet-ribet lucu tapi kasihan juga coz ini yang pusing orang tua ik...kalo anak muda seumuran saya mah gak masalah, mulai dari persiapan munaqosah dimana saya harus ikut jadi trainer dan membuat kisi-kisi pertanyaan yang mungkin akan ditanyakan di ruang sidang, ngurusin poto yang dikembalikan terus gara-gara ada aja yang salah, nyiapin kostum wisuda, sampai jadi salon pribadi (salonnya buka dadakan di atas mobil pula). haha.... yach, itu semua gara-gara pas hari H kami terlambat bangun sehingga semua serba terburu-buru. alhamdulillah masih sempat masak untuk bekal di jalan (yeah, daripada beli harganya bisa selangit bo!!!!). 

kami nyampe di tempat wisuda di Masjid Agung Jateng sekitar pukul setengah 8...hoho...agak sangat terlambat karena jadwalnya wisudawan harus nyampe pada pukul setengah 7 pagi. lah gimana bisa???? perjalanan dari kudus aja 2 jam, dan kami baru berangkat jam 6 pagi. hampir aja mami ketinggalan barisan yang masuk ke gedung. untunglah masih bisa nyusul, walau sebenarnya dibela-belain nahan pipis.... hufth,,,,

baru!!! salon spesialis wisuda di dalam mobil (khusus buat yang diburu waktu)

suasana prosesi wisuda di dalam gedung

nyuri-nyuri foto background wat ngedit foto wisuda mami.. lebih irit daripada foto langsung ma tukang-e.(Maaf ya pak Fotografer yang lagi bubuk, anda terpaksa ikut nampang karena saya gak berani ngebangunin)

Ke Kajen lagi...


Sekali lagi saya berkesempatan untuk bertemu khaul Mbah Mutamakkin di Kajen. Alhamdulillah, sampai detik ini saya tak pernah melewatkan satu kali 10 syuro pun tanpa ziarah ke tempat ini. Seperti biasanya Kajen selalu ramai dengan peziarah dan para pedagang yang berjejer di pinggir jalan. Walau  khaul jatuh pada tanggal 10 Syuro, tapi puncak berjubelnya manusia justru terjadi pada tanggal 9 syuro siang karena pada tanggal ini selalu rutin diadakan karnaval drumband.
manusia berjubelan nonton drumband di Kajen

Walau khaul tahun ini saya tak bisa berlama-lama di Kajen, tapi saya cukup senang karena saya bisa bertemu kembali dan nostalgia dengan sahabat-sahabat lama sewaktu sekolah dulu. Dan mungkin mereka paling mblengeren bertemu muka saya, karena hampir bisa dipastikan saya selalu ada di momen-momen seperti ini. Yeah, I love meeting my friends, terutama lagi mungkin karena saya belum disibukkan dengan urusan rumah tangga. Hihihi... (ah, kalaupun saya sudah punya anak dan suami, semoga saya tak jadi sok sibuk atau memang sibuk betulan. saya ingin tetap setia berkunjung ke tempat ini).

A day out with the Snockers

Akhirnya, The Snockers touring juga setelah bertahun-tahun berkarir di kampus....
One week after wisuda, kami berangkat ke Jogja juga walau anggota yang ikut Cuma 9 orang. But gak apalah yang penting ada kenangan yang tak terlupakan sebelum kami kembali ke ‘sarang’ masing-masing.

Hari minggu di awal Agustus yang cerah ceria, Started from kampus 3, saking semangatnya saya sampai memakai sandal yang bukan pasangannya. Hehehe...
Kami berangkat pukul 7 tepat, dengan tujuan pertama sarapan soto Kudus di Magelang (duh,,,jauh-jauh orang Kudus ke Magelang Cuma buat nyicipin soto Kudus), after that kami mulai mendaki Candi Borobudur. Hmmm, entah sudah ke berapa kalinya saya mengunjungi tempat ini, tapi tetap sukaaaaaaa. Di sana kemi gak lupa donk foto senarsis-narsisnya, pamer muka tercantik sampe terjelek,,dan kami juga berhasil ‘menjebak’ bule-bule untuk turut meng-amin-i kenarsisan kami. Say “Cheersssssss!!!!!”

Bapak-bapakpun ke Sekolah

Bapak-bapak sedang menunggui anak mereka sekolah
Ingin melihat Bapak-bapak ‘pergi’ ke sekolah? Come to my house!! Tiap hari (kecuali hari jum’at karena hari libur sekolah) banyak bapak-bapak yang mengantarkan anak-anak mereka sekolah ke RA Tarbiyatul Athfal (TK Islam), yang kebetulan RA-nya satu area dengan rumah saya. Tak hanya mengantar, para Bapak ini pun dengan sabar dan setia menunggui anak mereka hingga akhir pembelajaran. Bahkan ada juga yang kadang nekat menerobos ruang kelas karena anaknya merengek-rengek minta sesuatu. Dan bapak-bapak yang berwajah serem pun tak disangka berhati lembut juga, kalah direngekin sama anaknya.

Permainan Tradisional

Mengenang permainan anak yang biasa dimainkan saat masih kecil merupakan kenangan indah yang lucu. Beberapa permainan yang mungkin Anda mainkan saat masih kecil misalnya congklak, gasing, bekel, petak umpet, petak jongkok, gobak sodor, petak benteng, dan masih banyak permainan menarik lainnya. Mari kita telusuri satu per satu permainan tradisional yang mungkin kita mainkan saat kanak-kanak.

Congklak
Permainan congklak menggunakan papan permainan yang memiliki 14 lubang dan 2 lubang induk yang ukurannya lebih besar. Dimainkan oleh 2 orang. Satu lubang induk terletak pada ujung papan dan lubang induk lainnya terletak di ujung lainnya. Di antara kedua lubang induk terdapat 2 baris yang tiap barisnya berisi 7 lubang yang jumlahnya 14 lubang.
• Cara bermain:
Tiap lubang kecil diisi dengan 7 biji yang biasanya terbuat dari kerang atau plastik. Kecuali lubang induk yang dibiarkan kosong. Setelah menentukan siapa yang akan mulai lebih dulu, maka permainan dimulai dengan memilih salah satu lubang dan menyebarkan biji yang ada di lubang tersebut ke tiap lubang lainnya searah jarum jam. Masing-masing lubang diisi dengan 1 biji. Bila biji terakhir jatuh di lubang yang ada biji-bijian lain maka biji yang ada di lubang tersebut diambil lagi untuk diteruskan mengisi lubang-lubang selanjutnya. Jangan lupa untuk mengisikan biji ke lubang induk kita setiap melewatinya. Sedangkan lubang induk lawan tidak perlu diisi.

koleksi prangko


Sejarah Prangko
Prangko merupakan benda berharga yang memiliki fungsi utama sebagai tanda pelunasan porto dan biaya pos. Namun berbagai gambar yang menarik pada sebuah prangko bisa menjadi sarana untuk menyampaikan pesan mengenai berbagai kepentingan masyarakat, pesan moral, menggambarkan keindahan alam, dan juga menggambarkan sejarah. Sebelum prangko ada, biaya pengiriman surat masih dilakukan dengan membayar secara tunai. Namun dengan adanya prangko, setiap orang bisa mengirim surat dengan menggunakan prangko yang sesuai dengan biaya pengiriman surat. Mari kita lihat sejarah singkat prangko.
1680
William Dockwradi dari Inggris membuat prangko pertama yang dicap dengan tanda pos segitiga bergaris ganda dengan tulisan "PENNY POST PAID" Namun penemuan ini ditentang oleh para kurir dari perusahaan pos lain karena dianggap sebagai pelanggaran monopoli.
6 Mei 1840
Inggris mulai memelopori penggunaan prangko dengan menjual prangko berperekat pertama di dunia yang terkenal dengan nama "Penny Black".
1843
Brasil menjadi negeri kedua setelah Inggris dalam menerbitkan prangko berperekat yang berlaku secara nasional. Kemudian negara-negara lain mulai mengikuti dengan menggunakan prangko untuk pengiriman surat di dalam negeri.
1 April 1864
Prangko pertama terbit di kawasan Indonesia di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Prangko ini berwarna merah dan menampilkan gambar Raja Willem III dari Belanda. Prangko ini memiliki nilai 10 sen.
1943
Setelah Belanda menyerah kepada Jepang, maka Jepang menerbitkan prangko dengan gambar bola dunia disertai peta Kekaisaran Jepang maupun gambar lainnya.
1946
Prangko pertama dicetak oleh Pemerintah Republik Indonesia di Jakarta yaitu "Memperingati Setengah Tahun Merdeka".
Dalam sejarah prangko, untuk memudahkan pengiriman surat ke luar negeri, suatu persatuan pos seluas dunia dikembangkan. Saat ini, kegiatan surat-menyurat diawasi oleh sebuah badan khusus PBB yaitu Persatuan Pos Universal (Universal Postal Union), yang berkantor pusat di Bern, Swiss.

backstreet


Aku berbisik-bisik semut
sembunyi di balik tumpukan bantal selimut,
Saat kuingin mendengar suaramu.
Aku bilang mau kondangan,
Jika ingin sejenak saja menatap indahmu.
Ketika ingin lebih lama,
Kubilang mau reuni, dilanjut piknik bersama,
Sekalian menjenguk orang fiktif yang kubilang sakit.
Pura-pura saja kuderingkan hapeku
Pura-pura dari temanku yang ngajak ini itu
Nggak ada hubungannya dengan kamu
Pura-pura kudapatkan pesan pendek
Padahal aku sendiri yang mengirimnya ke hapeku
Hanya kuganti namaku: SI INI, SI ITU, dan kawan-kawannya
Biar dipercaya
Kukatakan ku pergi dua hari
Dua hari berikutnya dia menanyakanku, kenapa belum pulang?
Hujan deras, kataku
Sekalian pulang besoknya aja, tambahku
Biar tambah lama, batinku
Hanya untuk bertemu kamu
Puas aku




Mengenang tersesat di jalan yang benar


Pertama kali saya menemukan kalimat “Selamat, anda tersesat di jalan yang benar” di pintu masuk sanggar beta (sekarang telah menjadi masjid). Saya sempat bertanya-tanya apa maksudnya? Saya tak mendapatkan jawabannya hingga saya mengalami dan membuktikannya sendiri.
Saya masuk kuliah di almamater saya, IAIN Walisongo Semarang seperti mimpi, terkesan mendadak dan tanpa pemikiran panjang. Hampir kayak pelarian dari rasa frustasi berkepanjangan yang sebelumnya bak tumor ganas hinggap di kepala saya.
Tapi di kampus inilah saya menemukan banyak hal. Hal pertama dan telah menjadi impian saya sejak lama adalah masuk ke dunia teater. Sudah menjadi tradisi di kampus saya, wajib hukumnya bagi mahasiswa baru untuk mengikuti penyaringan bakat dan minat untuk kemudian diperlombakan antar fakultas. Saat saya masuk pintu eksekusi, saya lihat ada banyak sekali stan yang masing-masing dijaga satu sampai dua senior. Tapi entah kenapa mata saya langsung tertuju pada stan teater yang berada tepat di seberang pintu masuk. Saya ingat, senior yang saat itu menjaga stan teater adalah Mas Mahfud. Ia menyuruh saya akting marah-marah. Dan nampaknya saya sukses melakukannya.

hujan semalam

rentetan air tiba2 saja sudah tercurah
sedetik aku tertampar suara garang itu
Dingin..
Argh....!
itu seperti mau membantingku
rumpun bambu kecil di belakang rumah t0k0...
Menyaruk-nyaruk temb0k
menempel di sisi kuping
tumpahan air mencium-cium daun
tak sampai luruh
sampai angin menghentak
beberapa gugur
terinjak lagi
kedua kali
setelah tadi masih seraya menari di ranting dan dahan yg utuh
tetes2 dari luar..

Tentang Saat Kita

Menebar tapakku
menggigil pasir dingin
ada bekas tawa yg kau lukis disana
walau semalam telah digaruk ombak
tapi bibirmu tak lekang rekah..
Kita berpindah
meladeni arah-arah
dengan lekat jemariku menjambak kelingkingmu
owh, sem0ga kau tak kesakitan
hanya ku terlalu bersemangat
"h0e..h000eee...!"
Di sana kau mengajak teriak
lantang retinamu menatap biru,
langitmu,,
biru,
lautmu.,
Punya kita itu...

percaya padaku

Aku adalah relung
Tempatmu mendamparkan asa
Mengadukan lelah seribu perjalanan
Silahkan saja menangis dengan caramu, aku pasti mengerti
Ingatlah jiwa yang luas terus memelukmu
Damaiku nyata
Pendar di sekeliling
Hangat menggenggam tanganmu, jemari mengumpul
Takkan kubiarkan rapuh kelamaan mengendap
Percaya padaku..
Inilah hatiku, hidupku; yang aku ceritakan lebih dulu
Tawamu senantiasa kubawa; kuabadikan
Lalu masihkah kau yakin akan mendung berkepanjangan

perut

Ah, perut!
Meraung
wajah menu di ujung jalan sana, padahal
Baru saja senja luruh kemuningnya
setelah jeda separuh p0rsi siang tadi
0h, hanya seiris lont0ng, rajukmu
dengan tel0r dan mentimun serta kubis yg dicacah,tambahku
kini apa??
Perut, kau menunjuk-nunjuk
ke situ-situ lagi yg memamerkan menu jenuh di etalase
pun hampiri
lagi dan lagi, kesekian kali
ah, perut!!
Capeknya menunggu lebih panas dari kepul nasi itu
meremas-remas perut
ah, perut!!!
Kini mual

suarasuara

Tanah ini yg mencium jalan raya
hingga pekikan r0da-r0da masih menghentak belah telinga
tak berakhir dini hari ini
walau harusnya pejam
tapi mereka tak
...
Mesin jahit meringkik satu;
tak seperti d0ngeng, dilak0ni kakikaki, tangantangan dan mata lelah menua
ini ranum..
Seperti p0h0n mangga yg dulu meneduhi ayunan
oh,,musik lirih
jadi teman
dengan ban-ban bundar
tak mendengar

surat untuk Dinda

Dinda,
Rumahku tak lagi menjadi surga
Makanan-makanan hangat yg tersaji mendadak dingin
Pun air keran tak mampu luruhkan dahaga
Kasurku panas,
(ah,mungkin juga karena sudah tipis tergerogot waktu)
Aku tercibirkan sekeliling
Aku ingin pergi saja, Dinda
Sebentar saja
Maukah kau menemaniku?
Jika kau tak mau, antarkan aku saja
Dekat stasiun itu, tak usah sampai pintunya
Semoga diam-diam aku terbawa arus ke sana, ke ujung sana
Yang katanya gampang membuat orang jadi kaya
Meraup pundi-pundi kemakmuran
Kita bisa beli apa saja, bahkan harga diri manusia
Biar kediamanku tak lagi mencemooh
Atau sekalian saja kurobohkan rumah neraka itu nanti
Kita bangun surga yang baru
Ah,ah,tak usah mikir pakai uang siapa
Toh uang tetap uang, siapapun berebutan
Apalagi orang-orang yang di sana, yang katanya mengayomi kita,
Yang dengar-dengar mereka itu wakil kita (dan sejak kapan aku menyuruh mereka mewakiliku, ya?)
Pintar sulap mereka, Dinda
Bisa menggandakan gaji gajahnya menjadi gunung
Iya kan, Dinda?
Aku akan merampok mereka
Doakan aku tak tertangkap polisi,ya
Eh, tenang saja..
Mungkin aku bisa sedikit membungkam mereka
Betul kan, Dinda?
Jaga rumahku ya, Dinda!
Jangan sampai dia ikut-ikutan meledekmu

peri kecilku sedang menari

Peri kecilku sedang menari
Berputar-putar ia di atas ranjang kayu bertingkat yang sudah rapuh
Ia merasa seorang puteri
Dengan rok cokelat yang sudah terlalu tinggi
Sesekali ia menggangguku
Merusak sedikit rangkaian yang telah tersusun di otakku
Ia bertanya, “umurku delapan tahun?”
Kujawab tanpa menoleh ke arahnya, “tujuh tahun”
Sementara mataku masih menyetubuhi layar komputer
Ia kembali menari, menggumamkan lagu religi yang sedikit dihafal liriknya
“Kata ibu aku boleh haji kalau sudah lulus Tsanawi,,,”
Aku berhenti
Mengulur waktuku; mencoba menemu ulang apa yang baru kupikirkan, yang sejenak buyar
Entah apakah yang kudengar itu suatu harapan, pemberitahuan, atau pertanyaan
“hmmmmm....yahh...” responku
Ia diam, hanya menatap ke langit-langit kamar
Mungkin ia sedikit memaklumi kenapa aku tak begitu peduli
Tadi sore kubilang aku lagi kena sariawan
Parah, tiga biji di mulutku
Kataku, aku tak bisa bicara, sakit kalau makan
Jeda itu, ku lirik ia menggaruk kakinya, digigit nyamuk pasti.
Ku pegang tangannya, “jangan, nanti kakimu semakin banyak bekas lukanya”
Ia tersipu, menggeleng kecil
Dimainkan pita-pita kecil yang menggantung di roknya
Sementara dua jariku menggosok perlahan tungkai kaki yang katanya gatal;
Pengganti garukan, katanya dulu
Masih sempat saja ia gerakkan hidungnya
Hmmm,,Sepertinya kebiasaanku ditirunya
Dan masih dengan layar menyala di depanku
Kutarik-tarik rambutnya, berlagak kutemukan kutu-kutu raksasa
Kubunuh kutu-kutu itu dengan gemeretak gigiku, pura-pura
Ia tertawa, setengah mengantuk
menguap
Semenit kemudian ia terlelap
Menari dalam mimpi, mungkin


let me be

Let me be the one
It does not mean that I am so selfish
I just wanna stay right here
spending my life, not only for daydreaming
coz I have been thinking; this is my home
Where I can sing my lullaby's song
Lay my breath on
And spell the wind under the tree; to recognize it
Biarkan aku menjadi ranting
Yang miliki daun-daun di rerimbunan rumahmu
Biar angin menerpaku di bumimu
kuyakin tak goyah pijakku
So let me be,
Let me be the one, staying right here

sebuah perjuangan

Dengan Tangan Tuhan
Tercipta suka riang bahagia
Tersisip derita serta nganga luka
Saat jiwa merapuh lepuh
Coba bangun sisa asa sebelum sebenar-benar runtuh
Bertahan peluklah hati
Tegarkan..
Dimensi-dimensi yang bertolak biar saling menaruh ranjau
Tetap teruskan langkah
Pulas jalanan dengan putihmu
Nyatanya kau satir airmata yg enggan mengering
Tempias gurat kebohongan
Kau hempas di bawah senyuman
Biar lilin separuh redup
Eja lagi huruf-huruf di lorong lain
Berharap sampai pada ujung gelap
Sampai batas
Tetaplah tak terlebur hancur, semangat juang hidupmu!

hapus aku

Aku, aku, aku,
Sedang mencoba menghapus keakuan
Aku di tiap lembaran
Representasi ego
Keposesifan diri yang nyata
Narsis yang bisa saja kian tak terbendung
Aku, aku, aku,
Aku yang tak tergantikan
Mencoba lebur lewat kata yang sosial?
Si Anu, si Fulan, Mr.X, mereka, kami..
Apa saja yang tak terlalu aku
Biar aku
Jadi aku yang dalam hatiku

bisa-tidak bisa

Sedang terkapar sepi
Menahan nyeri
Dari sabetan belati benci
Malu jika kuharus
Merajuk domba kurus
Tuk membalik kemuhalan
Maka biar
Sepasang tangan ini
Menjalin kepang
Dari kepala yang gundul
Dengar kikik tawa menyeringai
Balas teriak
Bisa! jika Tuhan mau!

hiding the tears

so mess,,
that's around me,,
my face begins faded
just can't tell anyone
coz it's so difficult to looks weak..
then talking to the wall
by hiding the tears..

lagu masa

Masa telah mengetuk pintu budaya

Waktu tlah terkuak selebarnya

Purba pun tinggallah sejarah

Tapi polusi akhlak jadi pemenang

Mengacungkan jarinya tinggi-tinggi

Di atas bumi yang kian ringkih

Haruskah masa berdendang riang

Dalam keterpurukan?

Tarian moralpun tenggelam

bukan aku

Bukanlah aku

Yang seperti karang di himpitan badai

Atau pilar beton di pusat metro

Bukan, bukan aku

Oaseku hampir di penghujung

Direguk padang tak bertepi



Dengan munafikku

Jadilah aku yang bukan aku

Amboi,,, alangkah pintar

Tapi bukanlah aku

Seorang artis panggung

Yang lihai bertukar mimik