Halaman

Miss “Ihik-ihik”

Pernah ngerasain punya teman yang nyebelin nggak? Bukan nyebelin sih, tapi super duper nyebelin very much! Kira-kira kalau ada perlombaan orang paling nyebelin, kayaknya bakalan bersaing ketat sama Jeng Kelin, ratunya makhluk nyebelin yang sering muncul di salah satu acara televisi swasta.
Manusia nyebelin yang satu ini sebenarnya seratus persen waras, sehat wal-afiat fiddunya wal akhirat, mengenal nasi sebagai makanan pokok orang Indonesia juga. Soal wajah lumayan lah, antara cantik dan nggak cantik alias rata-rata manusia gitu. Penampilannya pun oke punya, setidaknya nggak bikin belekan mata yang melihatnya. Ya, setidaknya itulah nilai rapor bagian plusnya yang berhasil kurekap selama berabad-abad menjadi teman sekosnya, yang alhamdulillah sekamarnya juga.


Tapi sebenarnya itu nggak penting!
Yang terpenting adalah…dialah makhluk paling nyebelin yang pernah ku temui di bumi pertiwi tercinta ini yang berlabelkan nama Sasti.
Dalam hati, ku panggil dia dengan sebutan ‘Miss Ihik-ihik’.
Lha kenapa?
“Ihik-ihik…gue kesepian…”
“Ihik-ihik…pacar gue ngilang…”
“Ihik-ihik…kenapa hari ini gue sial bangeeettt!”
“Ihik-ihik…”
Berderet ‘ihik-ihik’ dalam tanda kutip tadi mungkin cuma nol koma nol nol satu persen dari daftar ihik-ihiknya yang lain.
Siapa sih yang mau kalau pagi-pagi, belum juga sarapan nasi, udah disuguhin sarapan ‘ihik-ihik’? Dan siapa juga yang tahan kalau menjelang jam sepuluh malem, saat mata bersiap untuk merem, masih juga dicekokin ‘ihik-ihik’?
Umur Sasti sih udah kepala dua bercabang satu alias dua puluh satu. Tapi sepak terjangnya masih kayak bayi bin orok banget. Maunya selalu ada orang yang nemenin ke manapun dia pergi, kecuali saat mandi dan buang air. Kalo diumpamakan anggota badan, si Sasti kebagian buntut, selalu ngintil. Dan tentu saja orang pertama yang jadi sasaran empuknya adalah Encus, pacar kesayangannya yang tiada pernah berani komplain.
Kadang aku kasihan banget sama Encus yang selalu jadi ‘tempat sampah’, tempat menuangkan berember-ember keluh kesah dan resah. Secinta-cintanya Encus sama Sasti, pasti lama-lama bakal ilfil kalo tiap hari direngekin nggak penting kayak gitu. Nah, mungkin karena kejengkelan sudah mencapai puncak gunung Himalaya, Encus sering kabur, ngilang dari pantauan Sasti.
Kalau sudah begini, giliran Sasti kalang kabut!
HP Encus nggak bisa dihubungi, cuma menyisakan suara operator yang kata Sasti lebih mirip suara Mak Lampir, dicariin ke kos Encus juga nggak ada, temen-temen yang ditanya juga pada geleng kepala tanda tak mampu..eh..tanda tak tahu.
Nah, setelah itu bisa langsung ditebak, terjadilah adegan yang sungguh menyayat hati mengiris perasaan hingga lubuk hati yang terdalam.
Perlahan namun pasti, bibir seksi si Sasti akan maju beberapa senti, hidungnya bergoyang-goyang kembang kempis, dan kelopak matanya segera menyala bak mata banteng yang bersiap menyerang matador.
Selanjutnya bisa dipastikan, makhluk yang bernama Sasti itu akan manyun-manyun, berihik-ihik, menggerutu, menangis, dan menyalahkan Encus serta tak lupa meratapi keadaan, merasa kalau dirinya adalah manusia yang paling merugi.
“Kenapa sih, Din.. Yayang tega banget ma gue,” ratap Sasti penuh penghayatan. Yayang adalah panggilan kesayangan buat Encus. Dan perlu digarisbawahi, kalimat Sasti tadi merupakan kalimat ke sejuta kali yang pernah kudengar dari mulutnya.
Diam-diam aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk diam bin anteng seribu bahasa kalo Sasti merengek lagi. Bikin mulut en telinga pegel. Aku juga udah bosen ngasih jawaban, saran dan kritik yang akhirnya cuma mampir di kupingnya sekejap, setelah itu menguap lagi ke arah antah-berantah.
“Kalo nggak mau ngilang ya diiket aja di pohon,” jawabku cuek bebek angsa.
“Elo kok gitu sih, Din. Emangnya Yayang tuh kebo?”
“Lha itu elo tau. Udah tau Encus manusia, ya biarin kek sekali-kali dia terbang melayang nun jauh dari batang hidung elo.”
“Ihik-ihik!”
Aku nggak peduli.
“Din, jalan-jalan yuk.”
“Lagi kere. Elo mau bayarin transportnya apa?”
“Iya, ntar berangkatnya elo tak bayarin, tapi pulangnya gue gantian dibayarin ya.”
Aku meraih tombol volume tapeku. Kukencengin tiga kali lipat.
“Dinaaaa…….!!!”
Aku pura-pura budeg, daripada kupingku mblenyek beneran gara-gara dengerin dia nerocos lagi.
****
Panas-panas, pulang kuliah…
Bayangan yang ada di otakku beberapa menit yang lalu: Sasti lagi mojok di sudut kamar, meratapi nasib, posisi meringkuk mirip udang, muka mi keriting, mata mbendol-mbendol merah kayak ikan koki, tak lupa HP kesayangan turut menyertai kenestapaannya.
Fakta: Sasti dan Encus lagi duduk di teras kos dengan wajah sok imut ditambah senyum mengembang balon. Hmm…ternyata pangeran kodok telah ditemukan. Pantes!
“Wah…Yayang udah ketemu,” ledekku.
Kayaknya mereka berdua, terutama Sasti, berusaha ekting biasa-biasa aja di depanku. Nggak mau terlalu kelihatan gembira ria. Gengsi kali, ya. Padahal aku bisa pastiin hati Sasti pasti lagi meringis-meringis kegirangan karena kesendirian dan penantiannya yang menyiksa telah berakhir.
Satu jam, dua jam, lima jam pun berlalu, mereka tetap tak beranjak dari posisi. Nah, ini yang bikin heran. Apa nggak takut kena ambeien, ya?
Sekali lagi, I don’t care. Yang penting dia nggak ngrengek-ngrengek lagi di depan mukaku.
“Yayang…Ihik-ihik…”
Cuma kalimat-kalimat itu yang sempat mampir ke kupingku sebelum aku terlelap di tengah teriknya siang yang kayak neraka bocor ini.
***
Malam harinya, malam yang cerah penuh bintang bertaburan di angkasa…
Tapi kulihat wajah yang mendung menggantung. Lebih tepat juga kalau dibilang wajahnya kayak lagi menggotong semangka tujuh kilo.
“Din, ihik-ihik..”
Nah!
“Tau nggak?”
“Enggak tau!”
“Din, Dua hari ini gue bakal menjanda duda. Yayang mau ngunjungi kakeknya di Tegal. Besok elo nggak pergi ke mana-mana kan, Din?”
“Hmm…”
“Dinaaaaa…!!!”
Oh, kupingku, sungguh kasihan dikau. Spontan aku meraih sumpal telinga.
“Gue mau ke temen,” jawabku sebal.
“Temen yang mana, Din?”
“Ya someone, lah! Seorang wanita cantik yang jadi idola.”
“Kok elo nggak pernah ngenalin ke gue?”
“Ah, elo aja yang kuper, sampe nggak kenal orang populer kayak dia!”
Mata Sasti membulat. Tambah penasaran dia.
“Pokoknya gue ikut ya. Gue nggak mau sendirian di kos kayak orang ilang. Ntar kalo gue diculik gimana?”
Weekkk….!!! Diculik? Sungguh sial nasib sang penculik kalo sampe mau-maunya nyulik Sasti.
***
Dandanan Sasti udah rapi jali ngiprit. Pokoknya kayak orang mau jadi tamu kehormatan presiden. Sedangkan aku masih setia pake celana kolor sisa peradaban kakekku.
“Sebenernya rumah temen elo yang cantik itu mana tho, Din? Kok elo malah belom siap?”
“Wanita cantik? Deket kok,” aku senyum-senyum bego, “Berangkat yuk!”
“Pake baju tidur kayak gitu?”
“Kan deket…”
Wuusss.. Kulihat raut kebingungan menerpa, apalagi saat aku malah beranjak menuju dapur. Tapi tak urung dia ngintilin aku juga.
“Kok ke toilet, Din? Mau pipis dulu kok ngajak-ngajak? Gue tunggu di depan, ya.”
“Eitss…Lha ini our final destination. Wanita Cantik!”
Dahi Sasti mengkeret kayak embah-embah. Bingung.
“Lha iya, Wanita Cantik..disingkat WC..”
Selanjutnya, reaksi Sasti sungguh tak mampu kuungkapkan dengan kata-kata…


2 komentar:

Faibans mengatakan...

Salam kenal untuk jeng kellin ya! heheheheeeee...

:p

neesa mengatakan...

hahahaha.....slm bwt mis ihik ya........wkwkwkwk

Posting Komentar